JAKARTA, TI – Kepala daerah terpilih, tidak boleh lagi mengambil kebijakan dengan melakukan pengangkatan staf khusus (Stafsus) dan tenaga ahli setelah dilantik.
Hal tersebut disampaikan oleh kepala badan kepegawaian negara (BKN) Republik Indonesia, Zudan Arif Fakrulloh saat melakukan rapat evaluasi seleksi CPNS dan PPPK bersama komisi II DPR-RI di Kantor Gubernur Sulawesi Selatan pada Rabu, 5 Februari 2025.
Zudan Arif menegaskan hal tersebut bagi kepala daerah terpilih melalui Pilkada November 2024, dan jika melanggar akan ada sanksinya.
“Untuk kepala daerah terpilih tidak boleh mengangkat lagi pegawai. Akan ada sanksi tegas dari pemerintah pusat bila ada gubernur, bupati atau walikota terpilih mengangkat pegawai lagi. Tidak dibolehkan,” tegasnya, seperti dilansir dari Suara.com.
Zudan menjelaskan, jumlah pegawai yang ada saat ini sudah terlalu banyak terutama tenaga administrasi, sementara kemampuan anggaran daerah sangat terbatas.
Untuk Tenaga ahli, kata Zudan, sudah ada pegawai keahlian yang ditempatkan di tiap organisasi perangkat daerah.
Untuk Tenaga ahli, kata Zudan, sudah ada pegawai keahlian yang ditempatkan di tiap organisasi perangkat daerah.
Namun, pegawai terus diangkat hanya untuk mengakomodir kepentingan politik kepala daerah.
“Tidak boleh hanya untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan. Banyak sekali dalam pengangkatan PPPK ini argumentasinya tidak ada dana, tidak ada anggaran, lah kok malah ngangkat lagi tenaga ahli, staf khusus, tim pakar,” jelasnya.
Dari data BKN RI, jumlah tenaga non ASN aktif atau honorer saat ini adalah 1.789.051 orang. Yang dinyatakan lulus PPPK 2024 tahap I mencapai 668.452 orang.
Sementara, yang dinyatakan tidak memenuhi syarat pada tahap I akan dialihkan pada seleksi tahap II sebanyak 207.459 orang.
Zudan menambahkan, jika kepala daerah ingin menambah pegawai, maka wajib melalui jalur CPNS. Tidak boleh lagi asal mengangkat.
“CPNS akan kita buka lagi baik untuk S1, S2 maupun S3 akan kita siapkan, termasuk untuk kebutuhan dokter spesialis. Tapi tidak boleh stafsus, pakar atau tenaga ahli,” terangnya.
Sementara, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengatakan jumlah honorer terus bertambah. Karena kepala daerah lebih pilih mempekerjakan honorer dibanding CPNS.
Gaji yang lebih rendah dan kontrak kerja bisa diputus kapan saja jadi alasannya.
“Sampai sekarang ini yang jadi masalah karena kita belum tahu persis berapa sebenarnya jumlah tenaga honorer yang ada di seluruh Indonesia. Datanya selalu berubah karena ada peluang masih bisa dibuka, ya dibuka lagi. Kasihan, lama-lama gitu,” jelasnya.
Ia menegaskan DPR RI dan pemerintah pusat sepakat agar mulai tahun 2025 tidak boleh lagi ada pengangkatan honorer. Jumlah yang ada saat ini akan dimanfaatkan sesuai dengan ketersediaan anggaran.
“Jadi perlu ada aturan ketat dan komitmen dari kepala daerah untuk menyelesaikan baik PPPK penuh waktu dan paruh waktu,” ucap legislator partai Golkar itu. (T2)*