Jakarta, transparansiindonesia.co.id – Pro dan kontra dari berbagai kalangan muncul tatkala sosok Ketua DPD-RI LaNyalla Matalitti mengeluarkan pernyataan tentang perpanjangan masa jabatan presiden, penundaan pemilu dan usulan agar presiden mengeluarkan dekrit.
Bahkan tak sedikit yang menuding dan berkomentar miring dan bahkan menyerang LaNyalla dan menganggapnya sebagai figur yang kini sudah masuk angin.
Berbagai reaksi yang dinilai sangat berlebihan ditujukan ke LaNyalla, mengundang perhatian dan keprihatinan dari aktivis Tionghoa dan Koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak), Lieus Sungkharisma.
Menurut Lieus, pernyataan LaNyalla itu telah disalahpahami banyak orang sebagai pernyataan yang seolah-olah beliau menjadi pendukung rezim pemerintahan saat ini.
Padahal, kata Lieus, pernyataan LaNyalla di Munas HIPMI itu tidak semestinya disalahpahami.
“Sebagai satu-satunya ketua lembaga tinggi negara yang konsisten memperjuangkan agar konstitusi negara ini kembali ke UUD 1945 yang asli, beliau pasti sudah punya roadmap untuk mewujudkan gagasannya itu,” ujar Lieus.
“Jadi, seharusnya jangan lihat apa yang berkembang dari pernyataan pak LaNyalla itu. Tapi renungi substansinya. Saya justru melihat pernyataan pak LaNyalla yang meminta presiden Jokowi mengeluarkan dekrit agar konstitusi kita kembali ke UUD 1945 yang asli, adalah perwujudan dari sikapnya sebagai seorang negarawan sejati,” ujar Lieus lagi.
LaNyalla sendiri menyebut, pernyataannya yang diungkapkannya saat menjadi pembicara di Musyawarah Nasional Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) XVII, di Hotel Alila Solo, Jawa Tengah, Senin (21/11/2022) itu telah disalahartikan oleh banyak pihak.
“Saya sebelumnya bicara dengan ketua DPR RI, Puan Maharani bahwa sudah saatnya mengembalikan UUD 1945 ke naskah aslinya. Kemudian kita addendum. Puan sempat menanyakan dasarnya. Saya bilang salah satunya adalah perubahan pasal 33 UUD 1945 yang diubah menjadi 5 ayat yang membuat kita semakin terpuruk,” ujar LaNyalla.
LaNyalla juga menyinggung pemilu yang menggunakan sistem pencoblosan, yang menurutnya proses pemilu dengan cara pencoblosan itu adalah rekayasa dan hasilnya sudah ada yang menentukan.
“Daripada buang-buang duit untuk pemilu lebih baik ditunda saja, saya bilang gitu,” jelas La Nyalla.
Menyangkut perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi, menurut LaNyalla usul itu muncul karena selama 2 tahun masa jabatan Jokowi sebagai presiden dihabiskan untuk mengatasi Covid.
“Jadi kenapa tidak ditambah aja 2 tahun lagi untuk menebus 2 tahun yang habis karena Covid kemarin,” kata La Nyalla.
Agar harapannya terwujud, LaNyalla pun mendorong Presiden Jokowi untuk mengeluarkan dekrit guna mengembalikan naskah asli UUD 1945. Setelah itu baru di addendum. “Sambil memperbaiki, kita persilakan Presiden memperpanjang jabatan 2 tahun, 3 tahun, silakan,” ujarnya.
Menurutnya pernyataan LaNyalla itulah yang kemudian mengundang kontroversi dan memunculkan macam-macam tuduhan terhadapnya. “Ada yang menduga gagasan seperti itu muncul dari LaNyalla karena ia baru saja ditemui Jenderal (Purn) Wiranto selaku Wantimpres. Ada juga yang menyebut LaNyalla sedang mencoba bermain di tikungan becek,” ujar Lieus.
Namun apapun dugaan yang muncul, Lieus meyakini bahwa sebagai seorang negarawan LaNyalla tidak akan melakukan blunder dengan pernyataannya maupun tindakannya. “Saya yakin, sebagai negarawan pak LaNyalla pasti sudah memperhitungkan semuanya,” ujar Lieus.
Hanya saja, kata Lieus, memang amat disayangkan jika pernyataan LaNyalla di Munas HIPMI itu kemudian dipelintir kesana-kemari seakan-akan idealisme pak LaNyalla sudah berobah. Saya percaya LaNyalla masih tetap dengan idealismenya yang lama,” tegas Lieus.
Lieus pun meminta pada rekan-rekannya sesama oposisi untuk tidak termakan isu-isu yang kemudian dilontarkan pihak tertentu. “Jangan sampai suara kawan-kawan yang selama ini posisi terhadap pemerintah terpecah belah karena isu soal ini,” harapnya.
Kaum oposisi, kata Lieus, harus tetap solid untuk mengembalikan kedaulatan bangsa dan negara ini ke tangan rakyat.
“Saya setuju dengan pak LaNyalla, salah satu cara konstitusional yang bisa kita gunakan untuk mengembalikan kedaulatan rakyat itu adalah dengan presiden mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 1945 yang asli,” jelas Lieus.
(red/T2)*