Minsel, transparansiindonesia.co.id — Pengelolaan anggaran Dana Desa untuk dampak Covid-19, saat ini banyak membingungkan para HukumTua karena aturan mengenai penyaluran anggaran bagi warga dampak virus corona, yakni mengenai Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-Dandes).
Oleh Kemendes melalui Permendes nomor 06 tahun 2020 memberikan syarat minimal masuk 9 Kriteria dari 14 Kriteria keluarga miskin, sedangkan di Kabupaten Minahasa Selatan saat ini, mungkin tidak ada keluarga yang masuk ke 9 Kriteria tersebut.
Dilain pihak oleh Kemenkeu melalui PMK nomor 40 tahun 2020 yang menyatakan bahwa setiap desa mewajibkan menyalurkan anggaran dana desa untuk pos penanganan dampak Covid-19, dan kalau ada desa yang tidak menyalurkan anggaran tersebut, anggaran dana desa akan ada pemotongan.
Belum lagi aturan dari Kemendes atau pernyataan dari Menteri Desa yang menyatakan bahwa setiap desa bisa melakukan Perubahan APBDes lebih dari satu kali, dan ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 20 tahun 2018, yang mengatakan bahwa setiap desa hanya satu kali melakukan perubahan APBDes.
Terkait tumpang-tindihnya aturan-aturan tersebut, mendapat perhatian dari salah satu Legislator Minahasa Selatan yakni Verke Pomantow.
Ia mengatakan bahwa memang saat ini pemerintah daerah, didalamnya pemerintah desa (HukumTua) dibuat bingung dengan aturan seperti itu, karena dalam dilema ketika mencari keluarga yang harus memenuhi 9 Kriteria keluarga miskin saat ini itu mungkin tidak ada, namun dilain pihak bila anggaran BLT-Dandes tersebut tak disalurkan akan ada pemotongan anggaran dandes.
“Aturan-aturan tersebut memang sangatlah membingungkan pemerintah daerah terutama para HukumTua untuk menata anggaran terkait BLT-Dandes,” kata Verke Pomantow Legislator Minsel dari Fraksi PDIP.
Ia pun mengajukan dua opsi bagi para pemerintah desa atau HukumTua agar nantinya tidak terjebak dalam pengelolaan anggaran BLT-Dandes, dimana yang pertama melalui Musyawarah Desa yang dihadiri oleh BPD dan lembaga desa lainnya serta tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk menyepakati para warga yang berhak menerima BLT-Dandes, dan harus pula dengan data yang benar.
Untuk opsi kedua ia mengatakan bahwa para HukumTua bisa melaksanakan padat karya tunai (PKT) dimana melalui pekerjaan pembangunan didesa yang melibatkan warga masyarakat sehingga warga mendapat penghasilan dari kegiatan pembangunan yang ada didesa.
“Jadi bisa juga para HukumTua mengambil dua opsi tersebut, yakni melakukan Musyawarah Desa terkait warga yang berhak menerima BLT-Dandes, dan juga melakukan kegiatan pembangunan dengan sistem Padat Karya Tunai, sambil menunggu petunjuk dari Dinas PMD, dan juga aturan dari Pemerintah Pusat,” tambah Srikandi PDIP tersebut.
Dikatakannya pula, musyawarah merupakan amanat Undang-undang dan terdapat dalam ideologi Negara yakni Pancasila (Sila ke-4), sehingga sambil menunggu petunjuk dari atasan atau lembaga dan dinas terkait, agar para HukumTua bisa saja mengambil dua opsi tersebut untuk penganggaran dana desa bagi dampak Covid-19.
“Menurut hemat saya jika kriteria penerima BLT-Dandes tidak dapat terpenuhi, maka Pemerintah Desa bisa melaksanakan Musyawarah Desa, sesuai dengan Sila ke-empat dalam Pancasila, yakni ‘Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan’ dan Sila ke-Lima yang berbunyi ‘Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’, selanjutnya pemerintah desa bisa menganggarkan padat karya tunai sebagai pengganti BLT-Dandes, yang kesemuanya oleh pemerintah desa melakukan untuk kebutuhan warga masyarakat ditengah memerangi pandemi Covid-19,” ujar Verke Pomantow.
(Hengly)*