Jakarta Transparansi Indonesia co.id-Mengingat pada tahun 2018 dan 2019 Aliansi Nelayan Anti Korupsi (ANAK) yang
menamakan: Koalisi Organisasi Sektor Kelautan dan Perikanan (KOSKP) melaporkan
Menteri KKP Periode 2014 – 2019 tentang pembukaan Vessel Monitoring System (VMS)
pada tahun 2017 bekerjasama dengan konsorsium Global Fishing Watch (GFW) yang
mempublikasikan VMS melalui jasa berbayar yakni: Skytrut, Google dan Oceana yang
dibayar oleh negara memakai APBN via Leonardo D’Caprio.
Kesalahan paradigma ketika VMS dipublikasikan yang merupakan data kapal Indonesia,
dianggap kebutuhan masyarakat dunia. Apa pentingnya masyarakat dunia mengakses
data kapal Indonesia?. Tidak penting. Sementara kapal asing yang melakukan
penangkapan ikan di ZEEI tidak pakai VMS tetapi AIS (Automatic Identification System).
Sudah jelas berbeda antara VMS dengan AIS dari sisi jangkauan radar dan data yang
diperoleh. Inilah yang memicu banyaknya ilegal fishing diperairan Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI) karena tidak terintegrasinya data antara VMS dan AIS. Publikasi data
sistem pemantauan kapal yang memakai VMS melalui Global Fishing Watch (GFW) bukan
bentuk keterbukaan informasi publik, tetapi membebani keuangan negara yang harus
bayar Aplikasi Global Fishing Watch (GFW) via Yayasan Leonardo D’caprio.
“Beberapa ketentuan dijadikan pertimbangan dalam kerjasama publikasi sebagai legalitas
untuk kerjasama, seperti Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik, UUD 1945 Pasal 28F, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
(Permen KP) No. 42 Tahun 2015 Pasal 26 ayat (1), bahwa: data VMS adalah data yang
dikelola dan dimiliki oleh KKP cq. Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya
Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDKP).
Dengan demikian, sebenarnya KKP tidak memiliki kewenangan penuh atas publikasi
penggunaan data VMS dalam bentuk kerjasama apapun secara global dengan lembaga
nirlaba maupun profit asing. KKP hanya di ijinkan oleh UU Perikanan kerjasama dengan
institusi negara seperti Bakamla, TNI, POLRI, KPK, dan Kejaksaan Agung. Sudah jelas KKP
melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak memperhatikan
kepentingan umum masyarakat yang dimaksud.
Dampak dari pembukaan VMS tersebut, yakni terjadinya dugaan Black Fishing (tangkapan
ilegal), Black Market (Pasar Gelap ikan hasil tangkapan) dan Black Royalti (tebus).
Maksudnya: membuka VMS itu melegalkan sekitar 1.647 – 2000-an kapal ikan asing
lakukan pencurian ikan diperairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Indikator
terjadinya ilegal fishing tersebut, pertama: pembatasan gross ton kapal ikan Indonesia
yang ditambah pemberatan syarat harus memakai VMS dan AIS bagi kapal nelayan
Indonesia. Sehingga berdampak pada sulitnya nelayan melaut ke wilayah ZEEI. Tentu
membuat kapal asing berseliweran mencuri ikan di wilayah ZEEI, seperti Natuna, Arafura
dan lainnya.
Nah, dari sisi mana terjadi Black Royaltie tersebut, ketika Kapal Ikan Asing (KIA) masuk
perairan ZEE Indonesia dengan aktivitas melakukan penangkapan ikan. Kemudian kapal
pengawas dan/atau kapal aparat keamanan datang menangkap. Kapal tersebut tidak serta
merta disita dan dibawa ke Pelabuhan terdekat guna penegakan hukum. Namun, justru di
duga ada transaksi ilegal ditengah laut, sebagaimana disebut Black Royaltie atau uang
tebus agar kapal tersebut tidak diproses hukum dan dikembalikan kepada negaranya.
Dengan modus saling konprontasi, padahal sebelumnya sudah berkomunikasi untuk saling tebus.
Faktanya, terungkap yang dapat dijadikan bukti baru dan petunjuk pemberantasan tindak
pidana Korupsi disektor Kelautan dan Perikanan (KP). Pengakuan Mantan Menteri KKP
tersebut, sesuai bunyi pada url video youtube: https://youtu.be/DG-bpDGDbsM pada
menit 30:40 – 30:53, bahwa: “Nah persoalannya kalau kapal di lelang. Ya dilelang paling
dijual 1 miliar. Hasil mereka nyolong 2 minggu sampai 1 bulan kurang lebih 2 sampai 3
miliar. Mereka rombongan 20 kapal. Kami tidak mungkin tangkap semua, paling ditangkap
1 – 2 kapal, dilepas ditebus 2 miliar, mereka balik lagi. tidak pernah Jera.”
Inilah yang dimaksud bahwa kasus gratifikasi dan korupsi seperti ini sangat sulit
terungkap. Berantas illegal fishing selama era mantan Menteri KKP Periode 2014 – 2019
ada tebus menebus ditengah laut. Makanya banyak kapal setelah ditangkap lalu dilepas
lagi karena tebusan. Sebagaimana fakta diatas, sesuai pengakuan Mantan Menteri
Kelautan dan Perikanan (KP) Periode 2014 – 2019 pada acara “Ngopi Bareng Presiden
PKS” di Kantor DPP PKS Jalan TB. Simatupang, Jakarta Selatan pada Senen, 20 Januari
2020.
Gratifikasi dan korupsi model seperti ini ada beberapa kemungkinan modusnya, sesuai
analisis yakni: pertama: menerima tebusan ditengah laut pada pagi hari, malam hari dan
siang hari. Sesuai komunikasi antara kapal yang akan ditangkap dengan kapal pengawas
perikanan dan/atau kapal penindakan aparat. Kedua: menerima tebusan diluar negeri
dalam bentuk mata uang dollar baik diterima langsung maupun tidak langsung via kurir.
Ketiga: Menerima tebusan dalam bentuk transfer via rekening Bank mengatas namakan
Pekerja Migran Indonesia (PMI) kepada rekening tujuan. Pola pencairannya dengan
sistem pembagian. Keempat: melalui badan resmi kerjasama antar suatu perusahaan
dalam negeri Indonesia dengan perusahaan pemilik Kapal Asing tersebut.
Sejak Vessel Monitoring System (VMS) itu dibuka, ada bentuk korupsi baru. Mengapa?
karena: Pertama, KKP menggunakan APBN yang tidak tertera dalam RPJMN harus
membiayai Global Fishing Watch (GFW) yang merupakan konsorsium terdiri dari Google
Earth Outreach, Sky Truth, dan Oceana yang menyediakan perangkat visualisasi aktivitas
pergerakan kapal global berbasis Automatic Identification System (AIS).
Kedua: Menerima sesuatu diluar hukum peraturan perundang-undangan. Sesuai UU
Perikanan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan pada pasal 93 ayat 2 bahwa
“setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera
asing melakukan penangkapan ikan di ZEEI yang tidak memiliki SIPI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
Kemudian, ayat 4 bahwa: “setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing di ZEEI, yang tidak membawa SIPI asli sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda
paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
Maka atas indikasi diatas sesuai bunyi pasal 93 itu dipakai untuk melakukan tindak pidana
korupsi dengan melepaskan kapal-kapal yang sudah ditangkap ditengah laut dengan
menerima tebusan, tentu sudah jelas melanggar pasal-pasal Undang – Undang Perikanan
Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan pada pasal 93 ayat 2 dan 4. Maupun
pasal-pasal lain yang berkaitan dengan hal tersebut.
Selain itu juga melanggar ketentuan Perubahan atas UU No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian diubah
kembali ke UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dan dirubah kembali ke Undang-Undang
No 19 Tahun 2019 tentang KPK. Begitu pun menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20
Tahun 2001 bahwa pemberian tebusan atas dilepasnya kapal ilegal fishing yang ditangkap
lalu dilepas kembali dengan syarat uang tebusan, maka termasuk kategori gratifikasi baik
yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Selama ini uang tebusan bisa dikecualikan apabila dilaporkan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun selama ini tidak pernah dilaporkan uang tebusan
yang disebut oleh Mantan Menteri KKP periode 2014 – 2019 dalam video tersebut:
https://youtu.be/DG-bpDGDbsM pada menit 30:40 – 30:53, bahwa: “Nah persoalannya
kalau kapal di lelang. Ya dilelang paling dijual 1 miliar. Sementara hasil mereka nyolong 2
minggu sampai 1 bulan kurang lebih 2 sampai 3 miliar. Mereka rombongan 20 kapal. Kami
tidak mungkin tangkap 20 kapal, paling tangkap 1 – 2 kapal, dilepas ditebus 2 miliar,
mereka balik lagi. Ngak pernah Jera.”
Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi setiap gratifikasi kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila
berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Pasal
12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi: Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi
yang diterimanya kepada KPK.
Pasal 12 UU No. 20/2001, bahwa: didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau
penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar: Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No.
20/2001, bahwa: pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan
paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1
miliar.
TUNTUTAN:
1. Meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar memanggil dan
memeriksa Mantan Menteri KKP periode 2014 – 2019 dalam dugaan gratifikasi
menerima uang tebusan dari kapal ilegal fishing sejak menjadi Menteri Kelautan
dan Perikanan (KKP) sesuai pengakuannya.
2. Meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar menyita seluruh alat
komunikasi: radio, radar, satelite, VMS dan AIS pada kapal pengawas perikanan KP
Hiu Macan untuk mengetahui jejak digitalnya.
3. Meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus impor ikan
agar memanggil dan memeriksa Mantan Menteri KKP periode 2014 – 2019 dalam
pemberian rekomendasi impor ikan. Karena berdasarkan keterangan saksi yang
telah diperiksa KPK bahwa: “semua saksi katakan sepengetahuan ibu menteri Susi
Pudjiastuti dalam kasus impor ikan serta program lainnya.”
Demikian siaran pers ini atas kegiatan penyerahan bukti baru sebagai petunjuk KPK
dalam mengusut kasus dugaan tindak pidana korupsi disektor Kelautan dan Perikanan
HM