Jakarta, transparansiidonesia.co.id – Anggota Komisi XI DPR Eky Awal Mucharam mengaku kaget mendengar informasi bahwa pengaduan dari pemegang saham pengendali PT Yulie Sekuritas Indonesia Tbk kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum ditindaklanjuti selama 6 bulan.
Sebab, pengabaian terhadap pengaduan PT Yulie Sekuritas Indonesia Tbk bisa berpengaruh pada kepercayaan investor terhadap pasar modal di Indonesia.
“Ini masalah kepercayaan, bagaimana investor portofolio pada pergi. Ini menjadi concern dan harus diselesaikan,” ujar Mucharam dalam diskusi tentang “Kinerja Otoritas Jasa Keuangan” di Warung Bumbu Desa, Cikini, Rabu (3/10).
Mucharam mengatakan, para pemegang saham Pt Yulie Sekuritas Indonesia Tbk sebenarnya bisa mengadukan kasus ini ke Komisi XI DPR. Sebab, DPR memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga negara, termasuk OJK, meskipun kewenangan itu dilakukan secara holistik.
Namun, tambah dia, pihaknya juga bisa melakukan advokasi jika terjadi kasus perkasus sebagaimana yang dialami oleh PT Yulie Sekuritas Indonesia Tbk.
“Saya kaget dengar sudah 6 bulan tapi belum ditindaklanjuti. Bagus kalau diadukan ke DPR karena kita bisa panggil pihak-pihak terkait untuk dimintai klarifikasi,” katanya.
Di tempat yang sama, Kuasa Hukum Pemegang Saham Publik PT Yulie Sekuritas Indonesia Tbk Aksioma Lase membenarkan lamanya proses penanganan pembobolan deposito PT Yulie Sekuritas Indonesia Tbk senilai Rp 27 miliar. Deposito ini merupakan modal kerja bersih disesuaikan (MKBD) perusahaan tersebut.
Pemegang saham publik, menurut Aksioma, mempertanyakan komitmen OJK maupun Polri dalam mengungkap perkara tersebut yang telah merugikan investor pemegang saham dan sarat dengan unsur tindak pidana baik di bidang pasar modal, perbankan, maupun tindak pidana umum.
“Namun sudah setengah tahun berlalu pihak yang diduga keras sebagai pelaku utamanya masih berkeliaran seolah-olah tidak tersentuh hukum, karena itu investor publik menuntut agar pelaku utama pembobolan Deposito tersebut segera ditangkap dan diproses hukum,” tutur dia.
Pihaknya, kata Aksioma, tidak menilai persoalan ini terletak pada uang sebesar Rp 27 miliar yang dibobol. Namun, yang terpenting, kata dia, adalah kepercayaan investor terhadap pasar modal di Indonesia.
“Ini bukan urusan privat, ini isu publik, isu investor dan kepercayaan ke sistem keuangan di Indonesia yang bisa berimplikasi pada kepercayaan terhadap publik,” tegas dia.
Sebagaimana diketahui, PT Gema Buana Indonesia selaku pemegang 11,905 saham PT Yulie Sekuritas Indonesia, Tbk telah menyampaikan laporan kepada Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 8 Maret 2018 mengenai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh manajemen lama dan pemegang saham lama dari PT Yulie Sekuritas Indonesia, Tbk terkait pembobolan deposito milik perusahaan itu.
Kronologi Pembobolan
Aksioma memceritakan, kronologi kasus pembobolan deposito PT Yulie Sekuritas Indonesia, Tbk (PT Yulie). Awalnya, kata dia pada tanggal 21 Februari 2018, Bank Mandiri mencairkan 2 deposito PT Yulie senilai Rp 27 miliar. Deposito ini dicairkan untuk membayar utang PT Jeje Yutrindo Utama (PT Jeje) di Bank Mandiri.
Padahal, PT Jeje yang merupakan pemegang saham kendali PT Yulie sebelumnya, sudah tidak mempunyai saham lagi di PT Yulie sejak 5 Januari 2018.
“Investor publik yang membeli saham PT Yulie baru mengetahui kalau Deposito milik PT Yulie sudah dijamin oleh PT Jeje sejak tanggal 11 Mei 2015, namun selama 3 tahun (2015 sampai 2017) tidak pernah diungkapkan dalam Laporan Keuangan berjalan sehingga investor publik merasa telah tertipu oleh PT Jeje selaku pemegang saham lama,” jelas dia.
Lebih lanjut, Aksioma mengatakan, deposito yang dijaminkan dan dicairkan adalah modal kerja bersih disesuaikan (MKBD) PT Yulie di Bursa Efek. Padahal, kata dia, sesuai Peraturan OJK Nomor 72/POJK.04/2017, MKBD dilarang untuk dijaminkan.
“Sebagai akibat dari penjaminan MKBD itu, perdagangan saham PT Yulie sempat dibekukan atau disuspensi oleh BEI selama beberapa bulan karena tidak cukup modal. Dampaknya, kegiatan PT Yulie tidak berjalan dan tidak ada pemasukan,” ujar dia.
Aksioma mengatakan, tindakan pembobolan deposito itu terindikasi kuat mengandung unsur tindak pidana pasar modal sebagaimana diatur dalam Pasal 104, 107 juncto Pasal 90 UU No 8/1995 tentang Pasar Modal.
Selain itu juga tergolong tindak pidana perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat 2 huruf b juncto Pasal 51 ayat 1 junctoPasal 2 dan Pasal 29 ayat 2 UU No 7/1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan UU 10/1998, serta tindak pidana penipuan dan penggelapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372 KUHP.
(red)*