Sulut, TI – Oknum kontraktor berinisial HM alias Endy kini menjadi perhatian dan ramai dalam perbincangan publik terutama dikalangan LSM penggiat anti korupsi.
Pasalnya, pasca insiden robohnya eksterior gedung KONI beberapa waktu lalu, sosok Endy dianggap sebagai sosok penting yang harus kita bertanggung jawab.
Oleh beberapa LSM termasuk LSM-AMTI menilai bahwa keberadaan HM alias Endy merupakan sosok penting bagi kepala daerah dan aparat penegak hukum, hal tersebut dikarenakan Endy praktis tidak pernah dipanggil dan diperiksa untuk dimintai pertanggung jawaban.
Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Masyarakat Transparansi Indonesia (LSM-AMTI) melalui Ketua Umum DPP, Tommy Turangan SH mengatakan bahwa ada dugaan oknum Endy menjadi kontraktor peliharaan kepala daerah yang menjadi sumber keuangan atau semacam ATM kepala daerah.
“Kami menduga dan mencurigai bahwa Endy adalah sosok kontaktor peliharaan kepala daerah dan aparat penegak hukum yang sering dijadikan ATM, masa semua proyek musti Endy, dan apabila giliran bermasalah ia tidak diproses,” ujar Tommy Turangan.
Beberapa proyek dihubungkan dengan kontraktor HM alias Endy, seperti proyek ruang terbuka hijau (RTH) Sario Manado yang kini masih menyisakan misteri.
Dimana oleh LSM-AMTI menilai bahwa dalam proyek RTH tersebut ada unsur perbuatan melawan hukum.
Dijelaskan Ketum DPP LSM-AMTI Tommy Turangan SH bahwa Setelah dilaporkan sejumlah LSM ke Kejaksaan Negeri Manado pasca gempa beberapa waktu lalu, perkembangan penanganan kasus ini cuma jaksa dan mantan Kadis PUPR yang tahu. Publik tidak pernah tahu, atau bahkan dilarang mengetahui kasus itu.
Dalam laporannya, sejumlah LSM meyakini ada unsur perbuatan melawan hukum (PMH) karena sangat jelas bahwa Kadis PU-PR atau Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Steve Kepel di masa itu terbukti menggeser mata anggaran Belanja Negara dari RTH ke pekerjaan yang tidak pernah dibahas DPRD Sulut yakni renovasi eksterior gedung KONI.
Konon tindakan sepihak menggeser Belanja Negara itu atas perintah penguasa daerah yang belakangan dicurigai menerima fee tanpa keringat dari proyek berbanderol Rp15 miliar tersebut.
PA Steve Kepel sejauh ini diinformasikan hanya mengutus penghubung untuk mengecek siapa jaksa penyidik dan berapa jumlah jaksa yang menangani kasus ini, sehingga beberapa penggiat antikorupsi mulai mengendus ada makelar kasus yang sedang menjajaki jasa negosiasi dengan Kejari dan Kejati, terlebih nama kontraktor kebal air Hendrik Mamuaya mendapat sorotan publik.
“Proyek RTH yang gagal itu ada tindakan pelanggaran hukum, sudah ditenderkan, ada perusahaan pemenangnya tapi kemudian anggaran digeser sepihak oleh KPA. Lalu apa maksud dan motif kita belum tahu, menurut sumber itu proyek anak pejabat daerah yang tidak boleh diberi ke kontraktor lain, dan yang paling bertanggung jawab adalah KPA dan kontraktor Hendrik Mamuaya, saya mengikuti proyek ini sejak dibahas kendati tidak terealisasi,” ujarnya.
Sebelumnya, Belasan akrivis antikorupsi menuntut Sekretaris Provinsi Sulut bertanggung jawab karena tindakan menggeser belanja Negara pada Tahun Anggaran 2020 ke proyek yang berujung masalah hukum. Proyek Ruang Terbuka Hijau di Lapangan KONI Sario sejatinya dianggarkan dalam APBD TA 2020 senilai Rp15 miliar.
Proyek itu sudah ditenderkan melalui LPSE Pemprov Sulut dan dimenangkan PT Samudera Abadi Sejahtera (SAS). SAS memenangkan proyek itu dengan Harga Penawaran Sementara (HPS) Rp14.476.558.431. atau Rp14,4 miliar.
Belakangan aktivis antikorupsi mengendus, uang Negara dibelokan untuk merehabilitas seadanya exterior gedung KONI yang ujung-ujungnya rontok digoyang gempa berskala 5,9 SR pekan lalu.
Maka dari itu, ia meminta dengan tegas agar pihak aparat penegak hukum untuk memiliki keberanian melakukan pemeriksaan dan memproses oknum kontraktor HM alias Endy, jangan menimbulkan kesan publik bahwa APH seolah disetir oleh oknum Endy.
“Tegas, LSM-AMTI meminta agar APH memiliki keberanian untuk menangkap, memproses dan memeriksa oknum Endy, jangan sampai ada kesan dari publik bahwa APH tak punya keberanian untuk menyentuh Endy,” tegas Tommy Turangan.
(T2)*