Jakarta, TI – Menjelang pemilihan umum para elite politik mulai menyusun strategi untuk memenangkan ajang kontestasi yang dilakukan dalam setiap 5 tahun sekali ini.
Berbagai macam cara pun dilakukan guna mengambil simpatik rakyat untuk mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya, mulai dari memberikan janji manis hingga “sandiwara” mengeluarkan air mata seolah merasa terpukul dengan keadaan masyarakat saat ini.
Ada juga yang membuat pengobatan gratis bagi orang yang tidak mampu untuk membayar perobatan di klinik maupun rumah sakit bahkan mereka rela mengeluarkan kocek yang begitu besar guna memuluskan akal mereka supaya dapat memenangkan ajang pemilu tersebut.
Ada yang rela turun ke selokan serta hujan-hujanan membersihkan saluran air macet karena hal itu juga menjadi salah satu bagian staretegi untuk mengambil simpatik masyarakat kepada si elite politik.
Banyak mendatangi rumah ibadah dan mendekatkan diri dengan para pemuka agama,hal itu untuk menjaga elektabilitas mereka seolah tidak akan menyimpang ajaran agama ketika terpilih nanti dalam pemilihan umum.
Akal-akalan juga dilakukan dari mulai pemberian uang untuk bantuan peralatan ibadah juga merupakan salah satu straregi politik yang dikenal dengan sebutan Money Politic (Politik uang).
Ada yang dengan sengaja membagikan sembako di pagi hari saat menjelang pemilihan itu berlangsung, peristiwa itu sering terjadi maka di dapat istilah “Serangan Fajar” karena disitu momentum yang tepat bagi elite politik untuk mendapatkan yang mereka harapkan yaitu suara dari masyarakat yang akan mencoblos ketika hari H nya berlangsung.
Sudah jelas itu akan membuat si elite politik nantinya melakukan korupsi ketika menjabat di pemerintahan, sebab uang yang mereka habiskan sudah terlalu banyak sementara gaji yang mereka dapatkan ketika duduk di parlemen tidak mungkin menutupi dana yang sudah mereka keluarkan saat ajang kontestasi pemilihan umum itu berlangsung.
Dari situlah tanpa disadari masyarakat bahwa yang dirugikan nanti adalah mereka sendiri karena “uang rakyat” itu juga yang akan di ambil kembali oleh si pejabat untuk mengembalikan modal yang sudah mereka hamburkan kala itu.
Kita harus sadar dan peka untuk menghindari politik nakal yang dengan sengaja melakukan pencitraan mulai dari janji manis hingga pemberian uang kepada masyarakat.
Ketua umum DPP LSM-AMTI, Tommy Turangan SH mengatakan bahwa politik uang menyenangkan politik berbiaya mahal.
Selain untuk jual beli suara (vote buying), para kandidat juga harus membayar mahar politik kepada partai dengan nominal fantastis.
Tentu saja, itu bukan hanya dari uangnya pribadi, melainkan donasi dari berbagai pihak yang mengharapkan timbal balik jika akhirnya dia terpilih.
Perilaku ini biasa disebut investive corruption, atau investasi untuk korupsi.
Keberhasilan dalam pemilu dan Pilkada, kekuatan uang sangat mempengaruhi bahkan hingga mencapai 95,5 persen, yang sebagian besar untuk membiayai mahar politik, maka masyarakat harus waspada dengan sandiwara politik yang sering dimainkan oleh para elit politik,” jelas Tommy Turangan.
Lalu bagaimana mencegah terjadinya politik uang??
1.Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) beserta para aparatur negara dipaksa untuk turun langsung kelapangan setingkat desa,kecamatan maupun kabupaten/kota serta Provinsi guna melakukan pengawasan kepada para elite politik untuk menghindari kecurangan yang akan terjadi.
2.Melakukan audiensi kelapangan dan menemui tokoh masyarakat maupun pemuka agama,untuk mengajak mereka dan memberikan kesadaran kepada warga betapa sangat bahayanya politik uang apabila tetap terjadi di era pemilu 2024 nanti karena berdampak kepada bangsa dan negara ini nantinya.
Jangan sampai ajang pemilihan umum ini dikotori dengan elite politik nakal dan katakan tidak pada korupsi agar negara kita bebas dari para mafia politik.
Tommy Turangan SH.
Ketum DPP Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Masyarakat Transparansi Indonesia (LSM–AMTI)
(T2)*