Jakarta Transparansi Indonesia.co.id– Penangkapan ikan secara ilegal (IUU Fishing) menjadi persoalan klasik di Indonesia. Banyak kapal-kapal asing berdatangan dan ‘merampok’ hasil laut di sejumlah wilayah, misalnya Kepulauan Natuna.
Mantan Menteri Kelautan, Susi Pudjiastuti mengatakan ada kartel besar yang menguasai laut nusantara. Bila tidak ada tindak lanjut melalui ketegasan hukum, maka akan mengganggu keberlangsungan sektor kelautan RI.
“Perpres Nomor Perpres no 44 sudah benar, namun dibutuhkan policy with strong leadership yang kuat sehingga mereka (kapal asing) tidak berani main-main. Kemudian, melihat begitu pentingnya manfaat hasil laut maka pemerintah harus memikirkan cara untuk mengembalikan (laut) seperti dulu. Jangan sampai menangkap ikan dengan Trol dan Cantral dilegalkan,” Ucap Susi, Senin 15 Juni 2020.
Kemudian wanita asal Pangandaran yang berjuang selama 25 tahun melawan Illegal Fishing ini mengaku sepakat dengan pernyataan Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Profesor Arief Satria. Arief menyatakan bahwa pendidikan kelautan sangat penting diberikan kepada generasi muda secara sistemik, terutama dibangku perkuliahan.
“Saya setuju dengan yang diutarakan Prof Arief, satu hal yang perlu ditanamkan kepada mereka (mahasiswa) adalah perikanan merupakan SDA yang reniable. Artinya apabila semakin dijaga akan lebih produktif. Tidak seperti tambang, bila terus di-eksplore maka akan habis,” jelasnya.
“Di sinilah peran-peran adik-adik mahasiswa, khususnya studi perikanan seperti IPB. Tantangan anda ke depan adalah bagaimana menjaga kekayaan laut kita,” pinta Susi.
Sementara itu, Rektor IPB Prof Arief Satria menegaskan IUU Fishing tidak hanya berkaitan dengan penangkapan ikan secara ilegal. Tetapi juga mengangkut kejahatan lain seperti human trafficking, penyelundupan, bahkan disinyalir terkait narkoba.
Menurut dia, pola para pelaku yang melakukan IUU Fishing antara lain pemalsuan dokumen, tanpa dokumen, transhipman, menyalahi ijin dan berbendera ganda.
“Langkah – langkah menghadapi IUU Fishing ini sudah jelas pada tahun 2020 merupakan momentum kita, untuk bergerak dan mwnggelorakan anti IUU Fishing. Saat jaman bu Susi sangat bagus sekali dalam meningkatkan good corporate goverment, sehingga pelanggaran kelautan bisa ditekan,” bebernya.
IPB sempat menganalisis terkait moratorium zona laut dan Kapal Ex asing terhadap sejumlah Pelabuhan yang menjadi dampak ilegal fishing. Arief menegaskan terlihat ada perubahan produksi yitu meningkatnya kapal perikanan Indonesia.
“Ada 12 pelabuhan yang kami pantau terdampak moratorium ternyata luar biasa Di Sorong 56 persen, Ambon 48 persen, Bintan 35 persen, Bitung 6,6 persen artinya kapal lokal yang melaut pasca kebijakan moratorium cukup besar. Produktifitas sampai 87 persen,” tegasnya.
Namun Arief menerangkan, saat ini yang masih menjadi fokus adalah bagaimana nelayan kecil menikmati hasil (laut), yang direalisasikan secara adaptif melalui peningkatan tekhnologi.
Selain itu, membangun perekonomian perikanan baik skala kecil maupun besar, sambil didorong juga regenerasi nelayan.
“Dalam hal ini, kita harus membedakan equality dan justice. Memang tidak bisa disamaratakan, antara nelayan besar dan kecil. Tetapi seluruhnya harus menikmati hasil yang sama,” pungkasnya.
Selanjutnya Kepala Bakamla Laksamana Madya TNI Aan Kurnia, memaparkan pihaknya telah menerapkan strategi selama menjaga kondusifitas dan keamanan di wilayah perbatasan laut Indonesia diantaranya strategi opskamla nasional, binpotmas nasional, Cap and trust building.
“Sebagai analisa, kita juga menjalankan beberapa hal seperti komunikasi formal, informal, mengubah mindset konsep yang harus ada partisi jelas sehingga mengiring kita Kedepan. Intinya, harus menghilangkan ego sektoral dalam membangun maritim yang baik,” pungkasnya.
HM/red